Para mantan buruh migran Desa Karangtawang kemudian membentuk
Kelompok sektoral; ekonomi, sosial dan seni. Pembentukan kelompok ini
tak lepas dari peran Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(Lakpesdam NU) Cilacap yang tengah melakukan Program Pemberdayaan Buruh
Migran Perempuan dan Keluarganya di Daerah Asal. Di Karangtawang,
Lakpesdam NU Cilacap menghelat berbagai pelatihan ketrampilan usaha,
mulai dari budidaya jamur tiram, koperasi, kerajinan berbahan dasar
plastik, Teknik Informatika dan Telekomunikasi, paralegal, serta
manajemen usaha.
Direktur Lakpesdam NU Cilacap, Hazam Bisri mengatakan sebelum
menentukan pelatihan yang dilaksanakan, masyarakat dibantu oleh para
fasilitator Lakpesdam melakukan diskusi kampung untuk menemukan akar
persoalan dan menentukan langkah yang bakal diambil.
“Banyak buruh migran yang sepulang dari luar negeri bingung akan
melakukan apa. Skill menjadi masalah krusial yang patut diperhatikan
seluruh stakeholder,” ungkap Hazam.
Beberapa usaha yang kini dilakukan kelompok buruh migran di
Karangtawang antara lain budidaya lele hemat air, telur asin, keset
sabut kelapa (sabusret), kerjinan plastik. Sedangkan kelompok sosial
seni antara lain dengan membentuk seni rebana untuk muslimat. Seluruh
kegiatan itu tergabung dalam Kelompok Buruh Migran bernama Toifatul
Mansyuroh.
Seperti Puji misalnya, mantan buruh migran yang kini sibuk mengajar
ini memelihara tiga ikan lele di kolam terpal ukuran 3 x 5 meter. Tiap
kolam terpal diisi dengan 2000 ekor benih. Dalam dua bulan lele yang
dipelihara ini bisa menghasilkan sekira 150 kilogram lele konsumsi.
Dijual dengan harga Rp 13 ribu per kilogram, tiap kali menjual Puji
mengantongi pendapatan kotor Rp 1.950.000.
Lain lagi dengan Surtinah, mantan buruh migran Malaysia tahun 1989
ini menggeluti usaha telur asin. Tiap minggu dia bisa merebus hingga
1000 butir. Secara gerilya dikumpulkannya telur mentah dibelinya butir
demi butir. Rp 1200 per butirnya. Telur ini kemudian diproses menjadi
telur asin. Ke bakulan, telur asin dijual dengan harga Rp 1600 per
butir. Tiap butir keuntungan kotornya Rp 400.
“Ini masih harus berhitung resiko telur pecah saat proses pengasinan maupun saat direbus,” ujarnya.
Tak sendirian, Surtinah mengajak beberapa anggota keluarga dan
tetangganya. Dan seluruhnya adalah para buruh migran purna. Tiap hari
setidaknya Surtinah dibantu oleh empat orang yang membantu mulai dari
pengamplasan telur, penumbukan bata merah, pemeraman telur, pembersihan,
hingga perebusan. Tak pelak, selain menghidupi keluarganya Surtinah
turut berandil mengurangi jumlah pengangguran yang makin membengkak.
“Kami berharap agar kegiatan yang kami lakukan bisa sedikit membantu
perekonomian masyarakat mantan buruh migran agar uang hasil dari luar
negeri tidak hanya habis dimakan sepulang merantau,” pungkas Puji.
Sumber : Majalah Jejak Migran : Saluran Informasi Buruh Migran Cilacap Edisi 01 Feb 2013.
Post a Comment